Rabu, 30 Juli 2008

Surabaya Tempo Dulu

Surabaya dikenal merupakan kota bersejarah yang sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas. Dalam Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca diterangkan tentang perjalanan Hayam Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir). Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (prasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.[1] Kini, hari jadi Surabaya diperingati menurut perhitungan keberhasilan Raden Wijaya dalam mengusir pasukan Tar-Tar di dekat Jagir dan Sungai di Wanakrama.[2]
Munculnya Surabaya sebagai salah satu peradaban penting di Indonesia tentunya mampu mendongkrak semangat civitas akademis untuk mengkajinya. Namun, dalam realitanya Surabaya mungkin hanya menjadi sebuah kenangan yang, hamper, setiap tahun kita peringati bersama. Munculnya berbagai perubahan baik dari segi social, ekonomi hingga politik mungkin lebih menarik. Namun, di balik semua hal tersebut nampaknya kita sering melupakan peninggalan-peninggalan sejarah yang seharusnya kita jaga bersama.
Munculnya Mall, Pasar-pasar modern dan berbagai hasil peradaban modern lainnya telah mengubah pola pikir kita untuk melupakan sejarah, peninggalan-peninggalan yang berbentuk fisik. Hal ini tentu membahayakan, karena melupakan sejarah tentu akan mengganggu proses keberlangsungan sebuah peradaban.
[1] Periode Majapahit 1300 (Majapahit/Hindu), dikutip dari Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996 oleh Situs Resmi pemerintah Surabaya
[2]. Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata "sura ing bhaya" yang berarti "keberanian menghadapi bahaya" diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.

SEJARAH IKATAN REMAJA MUHAMMADIYAH DI ERA REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ikatan Pelajar Muhammadiyah adalah sebuah organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak dalam dakwah Islam amar ma'ruf nahi mungkar yang ingin melakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, dan sebagai konsekuensi dari banyaknya sekolah. Oleh karena itulah dirasa perlu hadirnya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggil kepada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sekaligus sebagai pelopor, pelangsung penyempurna perjuangan Muhammadiyah.[1]
Pada tahun 1919 didirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah). Selanjutnya pada tahun 1933 berdiri Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar Muhammadiyah.
Setelah tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk beraktivitas mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk dari Muhammadiyah sendiri. Pada tahun 1950, di Sulawesi (di daerah Wajo) didirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah, namun akhirnya dibubarkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. Pada tahun 1954, di Yogyakarta berdiri GKPM yang berumur 2 bulan karena dibubarkan oleh Muhammadiyah. Selanjutnya pada tahun 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (yaitu Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah). Setelah GKPM dibubarkan, pada tahun 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang kemudian merencanakan akan mengadakan musyawarah se-Jawa Tengah. Akan tetapi, upaya ini mendapat tantangan dari Muhammadiyah, bahkan para aktivisnya diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah bila tetap akan meneruskan rencananya. Pada tahun 1957 juga berdiri IPSM (Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, yang juga mendapatkan resistensi dari Muhammadiyah sendiri.[2]
Resistensi dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, terhadap upaya mendirikan wadah atau organisasi bagi pelajar Muhammadiyah sebenarnya merupakan refleksi sejarah dan politik di Indonesia yang terjadi pada awal gagasan ini digulirkan. Jika merentang sejarah yang lebih luas, berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan sebuah background politik umat Islam secara keseluruhan. Ketika partai Islam Masyumi berdiri, organisasi-organisasi Islam di Indonesia merapatkan sebuah barisan dengan membuat sebuah deklarasi (yang kemudian terkenal dengan Deklarasi Panca Cita) yang berisikan tentang satu kesatuan umat Islam, bahwa umat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu Masyumi; satu gerakan mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); satu gerakan pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); satu gerakan pelajar Islam, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII); dan satu Kepanduan Islam, yaitu Pandu Islam (PI). Kesepakatan bulat organisasi-organisasi Islam ini tidak dapat bertahan lama, karena pada tahun 1948 PSII keluar dari Masyumi yang kemudian diikuti oleh NU pada tahun 1952. Sedangkan Muhammadiyah tetap bertahan di dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1959. Bertahannya Muhammadiyah dalam Masyumi akhirnya menjadi mainstream yang kuat bahwa deklarasi Panca Cita hendaknya ditegakkan demi kesatuan ummat Islam Indonesia. Di samping itu, resistensi dari Muhammadiyah terhadap gagasan IPM juga disebabkan adanya anggapan yang merasa cukup dengan adanya kantong-kantong angkatan muda Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul ‘Aisyiyah, yang cukup bisa mengakomodasikan kepentingan para pelajar Muhammadiyah.
Dengan kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu itu untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mulai mendapat titik-titik terang dan mulai menunjukan keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958 konferensi pemuda Muhammadiyah daerah di Garut berusaha melindungi aktifitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah. Mulai saat itulah upaya pendirian organisasi pelajar Muhammadiyah dilakukan dengan serius, intensif, dan sistematis. Pembicaraan-pembicaraan mengenai perlunya berdiri organisasi pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.[3]
Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke II telah memutuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (Keputusan II/No. 4).[4] Keputusan tersebut di antaranya ialah sebagai berikut :
Muktamar Pemuda Muhammadiyah meminta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran supaya memberi kesempatan dan menyerahkan kompetensi pembentukan IPM kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Muktamar Pemuda Muhammadiyah mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dari pembahasan-pembahasan muktamar tersebut, dan untuk segera dilaksanakan setelah mencapai kesepakatan pendapat dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran.
Kata sepakat akhirnya dapat tercapai antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran tentang organisasi pelajar Muhammadiyah. Kesepakatan tersebut dicapai pada tanggal 15 Juni 1961 yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran. Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961, dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri. Tanggal 18 Juli 1961 ditetapkan sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Dalam situasi kontra produktif tersebut, akhirnya Pimpinan Pusat IPM membentuk team eksistensi yang bertugas secara khusus menyelesaikan permasalahan ini. Setelah dilakukan pengkajian yang intensif, team eksistensi ini merekomendasikan perubahan nama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah ke Ikatan Remaja Muhammadiyah. Perubahan ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis dalam sejarah organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari pemerintah. Bahkan ada yang menganggap bahwa IPM tidak memiliki jiwa heroisme sebagaimana yang dimiliki oleh PII yang tetap tidak mau mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasinya.
Namun sesungguhnya perubahan nama tersebut merupakan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Perubahan nama dari IPM ke IRM sebenarnya semakin memperluas jaringan dan jangkauan organisasi ini yang tidak hanya menjangkau pelajar, tetapi juga basis remaja yang lain, seperti santri, anak jalanan, dan lain-lain.
IRM disahkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1992 melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/1992 tentang pergantian nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 Nopember 1992.[5]
Sedangkan mengenai kelahiran IRM/IPM Jawa Timur itu terpaut lima tahun setelah berdirinya IPM di tingkat Pusat. Hal ini bisa dilihat dari Musyawarah Wilayah (Musywil) I yang diadakan di Surabaya pada tahun 1966.[6] Dilihat dari perspektif masa kelahiran kepemimpinan IRM Jawa Timur, dapat dikatakan bahwa pada saat itu secara nasional Indonesia sedang dihadapkan pada persoalan ideologis dalam kehidupan sosial dan politik pasca pemberontakan PKI 1965. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan dalam persaingan perebutan kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintah dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun kiprah IRM/IPM pusat maupun Jawa Timur sebagai organisasi otonom Muhammadiyah adalah melakukan program kerja nasional IPM dengan orientasi; meningkatkan partisipasi IPM dalam pembangunan nasional, dengan usaha antara lain: Aktif dalam usaha menanggulangi drop out, menggalakkan kepramukaan, meningkatkan studi pelajar, dan menanggulangi kenakalan remaja dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, Mendukung program-program pemerintah dalam pembinaan dan pembangunan generasi muda dan juga meminta pada pemerintah untuk memperketat pengawasan dan pengedaran film serta mass media lain yang memuat gambar tidak senonoh demi menjauhkan generasi muda dari bahaya serta dalam bidang-bidang lainnya.[7]
Penelitian ini sengaja kami angkat untuk mengetahui dan menjelaskan betapa pentingnya sejarah dan kiprah Ikatan Remaja Muhammadiyah Jawa Timur baik terhadap Muhammadiyah, masyarakat, bangsa, dan negara.
[1] Buku Materi Muktamar IRM, “Napak Tilas Ikatan Remaja Muhammadiyah”, dalam http://www.irm.or.id/index.php?id=12&option=com_content&task=view.



[2] Ibid.
[3] Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut yang akhirnya diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat IPM Nomor VI/PP.IPM/1992.
[6] Mohammad Ernam, “Profil PW IRM Jatim dari Generasi ke Generasi”, (Surabaya : PW IRM Jawa Timur, 2002), 2.
[7] Buku Materi Muktamar IRM, “Napak Tilas Ikatan Remaja Muhammadiyah”, 2.